Monday, October 13, 2008

KEMUNAFIKAN DALAM HUKUMAN MATI

Sumiarsih, Sugeng, dan Rio Martil telah dieksekusi mati karena kejahatan yang telah mereka lakukan. Begitu pula (kelak, mungkin selepas Lebaran ini) Amrozi cs, karena mereka dinyatakan terbukti meledakkan bom di Bali, dengan akibat ratusan nyawa melayang. Karena kejahatannya itu, mereka sudah dianggap tidak layak lagi hidup di dunia ini, apalagi untuk menikmati kehidupan. Melalui putusan pengadilan, hak hidup mereka dicabut, yaitu dengan membunuhnya--sebagai satu-satunya cara untuk mencabut hak hidup.

Sumiarsih dan Sugeng sudah menjalani proses pencabutan hak hidup itu dengan cara ditembak, begitu pula Rio Martil. Sedangkan Amrozi cs akan menjalani proses yang sama dalam waktu dekat ini. Seperti Sumiarsih, Sugeng, dan Rio Martil; Amrozi cs juga akan meregang nyawa, setidaknya selama sepuluh menit, dan akhirnya mati. Hukuman semacam itu, apa pun metodenya, adalah kejam, tidak manusiawi, dan tidak beradab. Dalam perspektif hak asasi manusia, hak hidup merupakan hak yang paling fundamental, dalam artian di atas hak hidup itulah semua hak-hak yang lain melekat. Ketika hak hidup dicabut, maka runtuhlah hak-hak yang lainnya.

Patutlah dipertanyakan, bagaimana mungkin di satu sisi meneriakkan perlindungan hak asasi manusia, tapi di sisi lain mendukung, bahkan mengusulkan, penerapan hukuman mati. Ibarat menyayangi sebatang pohon agar tumbuh subur, tapi di sisi lain membiarkan, bahkan mengusulkan, mencerabuti akarnya. Tiada istilah lain yang pantas untuk menyebutnya kecuali kata "munafik".

Namun, itulah yang terjadi di negeri ini, mengaku mencintai kedamaian, menggaungkan sebagai negara yang beradab, tapi melakukan kebiadaban. Seolah dalam ritual kebengisan dan kekejaman kepada para terpidana mati itulah keadilan mewujud. Penghukuman hanya dimaknai sebagai pembalasan, sehingga hukuman terhadap seseorang dinilai setimpal atau tidak setimpal dengan perbuatan yang telah dilakukannya.

Para koruptor juga diusulkan agar dihukum mati, itulah hukuman yang dianggap setimpal baginya karena merugikan jutaan orang lainnya dan penyumbang terhadap kemiskinan. Berwacana tentang kemanusiaan tapi di sisi lain mengusulkan tindakan yang tidak manusiawi. Seolah tidak ada upaya lain yang harus dimaksimalkan agar korupsi tidak lagi merajalela.

Parahnya lagi, kemunafikan semacam ini tidak hanya pada tataran wacana, tapi dipraktekkan dalam sistem hukum. Setidaknya, ada empat instrumen hukum yang melindungi hak hidup, yaitu UUD 1945, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik, UU Nomor 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Anti-Penyiksaan, dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

UUD 1945 sejak amendemen kedua menyatakan bahwa hak asasi manusia harus dilindungi, bahkan secara eksplisit disebutkan hak hidup tidak bisa dikurangi dalam keadaan apa pun (lihat Pasal 28i). Namun, Mahkamah Konstitusi, melalui keahliannya yang luar biasa itu, telah menerjemahkan bahwa hak hidup dapat dikurangi.

Dalam Pasal 6 ayat 2 Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik, disebutkan bahwa "di negara-negara yang belum menghapuskannya, putusan hukuman mati hanya dapat dijatuhkan terhadap beberapa kejahatan yang paling serius". Selanjutnya, Pasal 6 ayat 6 menyebutkan bahwa "tidak ada satu pun dalam pasal ini yang boleh dipakai untuk menunda atau mencegah penghapusan hukuman mati". Jadi, dengan adanya Pasal 6 ayat 6, sudah jelas bunyi Pasal 6 ayat 2 bukanlah merupakan alasan pembenar untuk terus melanjutkan praktek hukuman mati, apalagi menganjurkan penerapannya.

Sebagai negara dan pihak yang telah mengakui Kovenan Sipol--dan menjadikannya bagian dari hukum nasional--setidaknya Indonesia harus menunda (moratorium) penerapan hukuman mati. Apalagi sejak 1998 telah diratifikasi Konvensi Anti-Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia. Kenyataannya, karena begitu munafik dalam persoalan hak asasi manusia, jangankan menghapus atau menunda, bak mencabuti bulu ayam, dalam tempo yang singkat pemerintah telah menjadi jagal dengan mengeksekusi sejumlah terpidana mati.

Instrumen-instrumen hak asasi manusia di atas tampak hanya sebagai topeng untuk menutupi kemunafikan dalam perlindungan hak asasi manusia di Indonesia. Interpretasi instrumen-instrumen hak asasi manusia telah dimanipulasi untuk meneruskan praktek kebiadaban. Penerapan hukuman mati bukannya dibatasi atau dicabut, sebaliknya didorong ke penerapannya yang lebih masif demi memuaskan rasa amarah dan dendam.

Padahal, tidak ada bukti yang cukup meyakinkan bahwa penerapan hukuman mati menimbulkan efek jera dan efektif dibanding hukuman lainnya. Sebaliknya, menerapkan hukuman mati telah menjadi bukti nyata bahwa negara tersebut masih belum beradab.

Menolak hukuman mati bukan berarti membenarkan kejahatan yang telah mereka lakukan. Sungguh dangkal pula pemikirannya jika penolakan terhadap hukuman mati untuk koruptor dianggap pula sebagai pembelaan terhadap koruptor. Perbuatan mereka itu patut dikutuk, tapi pengutukan terhadap mereka bukanlah alasan pembenar untuk mencabut hak hidup mereka.

Mereka memang patut dihukum, tapi penghukuman bukanlah pembalasan, sehingga bukan pula soal setimpal atau tidak setimpal. Dalam hukum pidana, teori pembalasan sudah usang dan telah kehilangan legitimasinya. Jadi buat apa terus dipertahankan? Masih banyak jenis sanksi hukum lainnya yang perlu dimaksimalkan. Minimal kita tidak begitu munafik dalam persoalan hak asasi manusia.*

No comments:

Post a Comment

walau halangan rintangan membentang tak jadi masalah dan tak jadi beban pikiran ! hhaha