Friday, October 31, 2008

Sultan HBX: Saya Tidak Tahan Rakyat Menderita

KRISTIANTO PURNOMO
Sri Sultan Hamengku Buwono X ketika berpidato politik dalam acara Pisowanan Agung.

SETIAP Raja dianggap sebagai wong (manusia) agung oleh para kawulanya (rakyat). Ia menjadi panutan. Setiap omongan dan tingkah lakunya menjadi sabda yang harus diikuti. Kemana-mana selalu didampingi pengawal. Tapi raja yang baik adalah raja yang tahu penderitaan rakyatnya. Dan, dalam dirinya merasakan penderitaan itu.

Itulah yang dirasakan Raja Yogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X. Ia tidak tahan melihat penderitaan yang dialami rakyat saat ini. Hal itu lantaran, setelah 10 tahun reformasi berjalan, tidak ada perubahan ke arah yang lebih baik. Rakyat masih dalam keadaan serba kesulitan.

“Saya sudah tidak tahan melihat keadaan seperti ini. Karena komitmen reformasi ke arah yang lebih baik ternyata tidak terjadi. Dimana masyarakat mendapatkan manfaat dari reformasi,” tutur Sultan saat berkunjung ke kantor Harian Surya, Kamis (30/10). Sultan HB X adalah satu dari tokoh yang menggulirkan reformasi selain Amien Rais, Megawati, Gus Dur yang dulu dikenal dengan istilah Tokoh Ciganjur.

Sudah dua hari ini, Sultan HB X keliling Surabaya. Ia berkunjung dari kampus ke kampus, serta keliling ke sejumlah kantor media di Surabaya. Saat di Harian Surya, ia membeber fakta hasil kelilingnya dari beberapa provinsi.

Saat menyampaikan, Sultan HB X mengatakan sangat prihatin keadaan masyarakat Indonesia. Tidak seperti yang dibayangkan oleh masyarakat umum. Ia terlihat sangat akrab dengan jajaran redaksi. Kadang gurauan dilontarkan tim yang selalu mendampinginya. Sultan HB X hadir bersama tujuh orang. Mereka menyebut diri sebagai tim 'siluman'.

Menurut Sultan, hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah adalah salah satu faktor terjadinya penderitaan rakyat. Kalau pemerintah sudah tidak dipercaya lagi oleh rakyatnya, maka tidak ada lagi kestabilan keamanan, ekonomi dan sebagainya. Sedikit kesalahpahaman, antarkampung bisa berkelahi. “Nah, kalau pemerintah sudah tidak dipercaya lagi, apa yang akan terjadi? Tak pernah ada manfaatnya bagi masyarakat,” imbuhnya.

Juga dari fakta yang ada, terlalu banyak kasus yang menguak anggota DPR RI. Sehingga trust itu juga semakin rendah. ”Begitu pula hubungan antardaerah, tidak seharmonis seperti sebelum era reformasi. Semua itu bagi saya sangat memprihatinkan di dalam konteks membangun kebersamaan dan keutuhan di dalam proses apa yang kita deklarasikan dalam Sumpah Pemuda,” katanya.

Begitu pula rasa kebangsaan. Kata Sultan HB X, rasa kedaerahan jauh lebih dominan. Keakuan, kekamian, jauh lebih besar daripada kekitaan. ”Secara ekstrem, saya hanya bisa bicara dengan kalimat pendek: saya sudah tidak tahan melihat keadaan bangsa ini,” katanya dalam kunjungan yang antara lain didampingi pengamat politik Sukardi Rinakit dan penyanyi balada Franky Sahilatua.

Sultan HB X kemudian mengilustrasikan mengapa ia tidak tahan dengan kondisi bangsa ini. Misalnya dalam hal investasi, keuntungannya ternyata dibawa keluar, bukan untuk diinvestasikan kembali demi kemakmuran negeri dan bangsa sendiri.

”Karena tidak tahan, saya ingin segera ada perubahan. Perubahan yang sangat mendasar di dalam proses membangun rasa kebangsaan. Juga bagaimana agar pemerintah harus memberikan kebijakan yang menguntungkan rakyat, bukan dalam konteks untuk memperbesar kekuasaan,” katanya.

Berbagai fakta memprihatinkan itulah yang menumbuhkan inspirasi bagi Sultan untuk maju sebagai calon presiden (capres), seperti yang ia deklarasikan dalam acara Pisowanan Agung di depan puluhan ribu rakyat Yogyakarta tiga hari lalu.

”Akhirnya, saya harus memberanikan diri. Ini bukan hanya hasil dari perenungan. Tapi dari hasil dialog, di beberapa provinsi, tidak hanya di Jawa, di Sumatera pun terjadi keresahan. Tidak ada lagi trust, tapi juga ada pemaksaan kehendak. Itu yang membuat saya tidak tahan. Ada pemaksaan kehendak dalam sistem pemerintahan ini,” tutur Sultan.

Menurut Sultan, pemimpin harus menjadi agen of change (agen perubahan). Ia harus mempunyai jiwa kompetitif. Saat ini, Indonesia tidak mempunyai pemimpin yang bisa melakukan perubahan. Dan kalau pemimpinya seperti itu, maka ia tidak akan bisa menghadapi tantangan lokal dan global.

No comments:

Post a Comment

walau halangan rintangan membentang tak jadi masalah dan tak jadi beban pikiran ! hhaha