Wednesday, October 15, 2008

Mimpi Obama Bertemu Ahmadinejad

Barack Obama dan Mahmoud Ahmadinejad
(Istimewa)

– Bakal calon presiden AS dari Partai Demokrat, Barack Obama, pernah menyatakan keinginannya untuk berbicara dengan para pemimpin negara-negara musuh Amerika. Tapi giliran dengan presiden Iran, Obama tampak ragu. Mengapa?

Boleh jadi Obama mulai mempelajari situasi politik yang terjadi di Iran belakangan ini. Saat ini posisi Presiden Mahmoud Ahmadinejad memang belum terlalu aman untuk terus bertahan. Apalagi mantan ketua perunding nuklir Iran, Ali Larijani, akan menjadi ketua baru parlemen Iran mendatang. Larijani dikenal sebagai penentang kebijakan Ahmadinejad.

Sementara Ketua Parlemen Gholam-Ali Hadad-Adel, yang pro Ahmadinejad, dilaporkan ditolak oleh para anggota baru parlemen untuk melanjutkan jabatannya.

Larijani, yang meraih kemenangan besar dalam pemilu sebagai kandidat dari kota agamis Qom, 130 kilometer di selatan Teheran, mewakili komunitas yang disebut 'kelompok revisionis konservatif'. Ini merupakan kelompok yang digunakan untuk mendukung presiden, namun secara perlahan memisahkan diri dan membentuk faksi sendiri.

Larijani mengundurkan diri Oktober lalu sebagai ketua perunding nuklir, menyusul perselisihannya dengan Ahmadinejad mengenai kebijakan nuklir. Sejak itulah ia muncul sebagai pengritik Ahmadinejad, terutama menyangkut kebijakan ekonominya yang menyebabkan inflasi tinggi.

Ini masih ditambah lagi dengan sanksi ekonomi dari PBB dan Barat, terkait dengan program nuklir Iran. Maka posisi Ahmadinejad jadi semakin sulit.

Terpilihnya Larijani sebagai ketua parlemen Iran akan menjadi isyarat utama bagi perubahan kekuatan legislatif. Perubahan ini sekaligus mengindikasikan akan semakin banyaknya tekanan parlemen terhadap Ahmadinejad dan pemerintahannya.

Dari sinilah sebenarnya keraguan Obama dapat bertemu Ahmadinejad itu bermula. Tapi ia menegaskan bahwa keinginannya untuk menemui tokoh garis keras itu tetap ada, bersamaan juga dengan pemimpin lainnya dari Kuba, Suriah, dan Venezuela, yang akan dilakukan tanpa prasyarat.

Obama menyatakan pemilu presiden Iran pada 2009 akan menjadi faktor penentu kapan pertemuan dengan para pemimpin vokal itu bakal terwujud. Artinya, Obama akan melihat siapa yang bakal tampil sebagai pemenang dalam pemilu Iran mendatang. Faktor inilah yang membuat Obama ragu pertemuan dengan Ahmadinejad itu akan terealisasi.

"Tak ada alasan mengapa kami perlu bertemu dengan Ahmadinejad sebelum kami tahu ia benar-benar tetap berkuasa. Pasalnya ia bukanlah tokoh paling berkuasa di Iran," tandas Obama saat kampanye di New Mexico, Selasa (27/5).

Sikap dan pandangan Obama itu langsung disambut kritik oleh pesaingnya dari Partai Republik, John McCain. Senator Arizona itu mengatakan perundingan dengan tokoh seperti Ahmadinejad akan menjadikan presiden Iran itu besar kepala sekaligus memberikan sinyal yang salah kepada sekutu AS di Timur Tengah, seperti Israel.

Apalagi Iran hingga kini tidak mengakui eksistensi Israel. Ahmadinejad bahkan menyebut Negeri Yahudi ini sebagai ‘mayat busuk’.

Keraguan Obama itu juga dicap kubu McCain sebagai bentuk inkonsistensi. Bahkan tim kampanye McCain menyebut Obama telah berjalan mundur. "Tahun lalu Senator Obama beberapa kali mengkonfirmasikan bahwa ia akan bertemu tanpa syarat dengan Ahmadinejad dan pemimpin Suriah, Kuba, serta Venezuela," kata juru bicara McCain, Brian Rogers.

Tapi Obama dan tim kampanyenya menegaskan bahwa seraya menunggu kemungkinan pertemuan itu digelar, perlu dilakukan persiapan di level bawah. Dalam kasus Iran, Obama mengatakan persiapan itu artinya harus ada pembicaraan di tingkat bawah terkait kejelasan mengenai keprihatinan Amerika terhadap program nuklir negeri Persia itu.

Tapi Washington juga harus rela mendengarkan perspektif Iran terkait program nuklir yang kontroversial itu. Dari sini sudah jelas, kata Obama, bahwa posisinya sangat konsisten.

"Saya sudah katakan bahwa dengan persiapan yang cukup, saya akan senang hati bertemu dengan para pemimpin dari negara berdaulat lainnya, termasuk negara-negara seperti Iran atau Korea Utara atau Venezuela," tegasnya.

"Saya sudah katakan bahwa penting untuk meyakinkan bahwa harus dimulai dengan pertemuan di tingkat bawah dan harus ada agenda yang jelas, sehingga pertemuan itu menjadi konstruktif."

Obama sebenarnya tak pernah ragu dengan kebijakannya, terutama kebijakan luar negeri. Namun yang menjadi perhatian Obama adalah setiap pembicaraan yang berpotensi menjadi kontroversi, harus disiapkan dengan sangat matang.

Jadi, pernyataan Obama itu menjadi semacam penegasan bahwa dirinya cukup mampu dan matang dalam memimpin negeri sebesar Amerika Serikat, meski pengalamannya masih minim

No comments:

Post a Comment

walau halangan rintangan membentang tak jadi masalah dan tak jadi beban pikiran ! hhaha